Sabtu, 11 Januari 2014

BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi utama dari sel-sel darah merah, yang juga dikenal sebagai eritrosit,
adalah mengangkut hemoglobin, dan seterusnya mengangkut oksigen dari paru-paru
ke jaringan. Selain mengangkut hemoglobin, sel-sel darah merah juga mempunyai
fungsi lain. Contohnya, ia mengandung banyak sekali karbonik anhidrase, yang
mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, sehingga meningkatkan
kecepatan reaksi bolak-balik ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini
membuat air dalam darah bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan
dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion
bikarbonakt (HCO3-). Hemoglobin yang terdapat sel dalam sel juga merupakan
dapar asam-basa (seperti juga pada kebanyakan protein), sehingga sel darah merah
bertanggung jawab untuk sebagian besar daya pendaparan seluruh darah.
Sel darah merah normal, berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter kirakira
7,8 mikrometer dan dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5
mikrometer dan pada bagian tengah 1 mikrometer atau kurang. Volume rata-rata sel
darah merah adalah 90 sampai 95 mikrometer kubik. Bentuk sel darah merah dapat
berubah-ubah ketika sel berjalan melewati kapiler. Sesungguhnya, sel darah merah
merupakan suatu “kantung” yang dapat diubah menjadi berbagai bentuk.
Selanjutnya, karena sel normal mempunyai membran yang sangat kuat untuk
menampung banyak bahan material di dalamnya, maka perubahan bentuk tadi tidak
akan meregangkan membran secara hebat, dan sebagai akibatnya, tidak akan
memecahkan sel, seperti yang akan terjadi pada sel lainnya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa fungsi terpenting sel darah
merah adalah transpor O2 dan CO2 antara paru-paru dan jaringan. Suatu protein
eritrosit, yaitu hemoglobin, memainkan peranan penting pada kedua proses tersebut.
Sehingga pada makalah ini penulis akan membahas metabolisme eritrosit dan juga
unsure-unsur lain yang berkaitan erat dengan proses metabolisme tersebut
Gambar 1 : Hasil scanning micrograf elektorn eritrosit manusia (H)
Dan kambing (G)
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Eritrosit
2.1.1. Komposisi Membran Eritrosit
Komposisi membran eritrosit seperti juga membran sel lainnya yaitu terdiri
dari :
Trilaminar structure
 outer hydrophilic
 Central hydrophobic
 Inner hydrophilic
Protein
 Integral : perpanjangan dari permukaan luar ke dalam
 Perifer : permukaan sitoplasma di bawah lapisan lemak
Lipid Membran eritrsit :
 95% lipid terdiri dari :
Kolesterol tidak teresterifikasi yang akan berpengaruh terhadap area permukaan:
permeabilitas cation pasif
Phospholipid bilayer mobilitasnya berkontribusi terhadap fluiditas membran
 5% sisanya terdiri dari glicolipid dan Free fatty acids
Protein membran :
Integral (glycophorin A, B, C dan pita 3), pita 3 merupakan tempa mengikatkan
cytoskeleton terhadap lapisan lipid juga sebagai anion pertukaran protein.
Perifer (dibentuk dari membran skeleton) yang berkontribusi terhadap bentuk sel,
stabilitas membran, perubahan bentuk dan viscoelastic. Terdiri dari spectrin, actin,
ankyrin dan pita 4.1.
Karakteristik Eritrosit :
Karakteristik eritrosit yang utama yaitu perubahan bentuk hal ini penting
karena eritrosit harus bersifat flexible untuk menyusup ke kapiler-kapiler yang
sangat kecil. Peningkatan konsentrasi hemoglobin atau penurunan fluiditas dapat
menurunkan kemampuan berubah bentuk. Akumulasi dari merman kalsium
mengakibatkan sel kaku, berkerut dan mengurangi kemampuan berubah bentuk.
Permeabilitas juga dibutuhkan seperti H2), Cl-, HCO3- dapat melewati
membran secara bebas. Pompa kation mengatur keseimbangan Na+ dan K-. Deviasi
dari permeabilitas influk Natrium akan mengakibatkan sel berubah bentuk.
Karena Secara fungsi eritrosit berhubungan erat dengan hemoglobin, maka
dibawah ini akan dibahas juga mengenai pembentukan hem sebagai unsure
pembentuk hemoglobin
2.1.2. Pembentukan Hem
Hem disintesis dari glisin dan suksinil KoA (Gbr. ), yang berkondensasi
dalam reaksi awal membentuk asam -aminolevulinat (-ALA). Enzim yang
mengkatalisis reaksi ini, -ALA sintase, memerlukan piridoksal fosfat. Dalam reaksi
ini, glisin mengalami dekarboksilasi.
Dalam reaksi kedua pada pembentukan hem yang dikatalisis oleh -ALA
dehidratase, 2 molekul -ALA menyatu untuk membentuk pirol porfobilinogen
(Gbr. ). Empat dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi membentuk sebuah rantai
linear dan mengandung gugus asetil (A) dan propionil (P). Gugus asetil mengalami
dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil. Kemudian dua rantai sisi propionil
yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke gugus vinil, membentuk
protoporfirinogen. Jembatan metilen kemudian mengalami oksidasi untuk
membentuk protoporfirin IX (Gbr. ).
Pada langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+) digabungkan ke dalam
protoporfirin IX dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (juga dikenal
sebagai hem sintase)
2.1.3. Sumber Besi
Besi, yang didapatkan dari makanan, memiliki nilai Recommended Dietary
Allowance (RDA) 10 mg untuk pria dewasa dan wanita pascamenopause, serta 15
mg untuk wanita pramenopause.Besi dalam daging berada dalam bentuk hem, yang
mudah diserap. Besi nonhem dalam tumbuhan tidak mudah diserap, sebagian karena
tumbuhan seringkali mengandung oksalat, fitat, tannin, dan senyawa fenolik lain
yang membentuk kelat atau presipitat dengan besi yang tidak dapat larut, sehingga
mencegah penyerapAnnya. Di pihak lain, vitamin C (asam askorbat) meningkatkan
penyerapan besi non-hem dari saluran cerna. Penyerapan besi juga meningkat pada
waktu dibutuhkan dengan mekanisme yang belum diketahui. Besi diserap dalam
bentuk fero (Fe2+) (Gbr. ).
Karena bersifat toksik, di dalam tubuh besi bebas biasanya terikat ke protein
(Gbr. ). Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe 3+ ) oleh protein, apotransferin.
Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi transferin. Besi dioksidasi
dari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal sebagai seruloplasmin
(enzim yang mengandung tembaga). Tingkat saturasi transferin oleh besi biasanya
hanya sepertiga. Kapasitas total darah mengikat besi, yang terutama disebabkan oleh
kandungan transferinnya, adalah sekitar 300 g/dL.
Penyimpanan besi terjadi di sebagian besar sel tetapi terutama di hati, limpa,
dan sumsum tulang. Dalam sel-sel ini, protein penyimpan, apoferitin, membentuk
kompleks dengan besi (Fe 3+) yang dikenal sebagai feritin. Dalam keadaan normal,
hanya terdapat sedikit feritin di dalam darah. Namun, jumlah ini meningkat seiring
dengan peningkatan simpanan besi. Dengan demikian, jumlah feritin di dalam darah
adalah indicator paling peka mengenai jumlah besi yang tersimpan di dalam tubuh.
Besi dapat diambil dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai
transferin, dan disera oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis yang
diperatarai oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk
hemoglobin). Apabila terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan
tersebut disimpan sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk
kompleks dengan besi tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera.
2.1.4. Pengaturan Pembentukan Hem
Hem mengatur sintesisnya sendiri melalui mekanisme yang mempengaruhi
enzim pertama dalam jalur, -ALA sintase (lihat Gbr. ) .Hem menekan
pembentukan enzim ini, dan juga secara langsung menghambatnya. Dengan
demikian, terjadi pembentukan hem apabila kadar hem turun. Seiring dengan
peningkatan kadar hem, kecepatan sintesis hem berkurang.
Hem juga mengatur sintesis hemoglobin dengan merangsang pembentukan
protein globin. Hem mempertahankan kompleks inisiasi ribosom dalam keadaan
aktif.
Gambar 7 : Pengaturan pembentukan Hem
2.1.5. Fungsi Hemoglobin dan Kurva Kejenuhan
Hemoglobin berperan dalam memelihara fungsi transpor oksigen dari paruparu
ke jaringan-jaringan. Sel darah merah dalam darah arteri sistemik mengangkut
oksigen dari paru-paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan karbon
dioksida (CO2) ke paru-paru. Ketika molekul hemoglobin memuat dan melepas O2,
masing-masing rantai globin dalam molekul hemoglobin mendorong satu sama lain
(Gbr. 8 ). Ketika O2 dilepas, rantai-rantai  tertarik-pisah (pulled apart),
memudahkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang
mengakibatkan merendahnya afinitas molekul untuk O2.
Pergerakan ini bertanggung jawab terhadap bentuk sigmoid kurve disosiasi
O2 haemoglobin (Gbr. 9 ). P 50 (yakni, tekanan parsial O2 pada mana hemoglobin
setengah jenuh dengan O2) darah normal adalah 26,6 mmHg. Dengan peningkatan
afinitas untuk O2, kurve bergeser ke kiri (yakni, P 50 turun) sementara, dengan
penurunan afinitas untuk O2, kurve bergeser ke kanan (yakni P 50 naik).
Normal di dalam tubuh, pertukaran O2 bekerja di antara kejenuhan 95%
(darah artei) dengan tekanan O2 arteri rata-rata 95 mmHg dan kejenuhan 70%
(darah vena) dengan tekanan O2 vena rata-rata 40 mmHg.
Posisi kurve normal tergantung pada konsentrasi 2,3-DPG, ion H+ dan CO2
dalam sel darah merah dan pada struktur molekul hemoglobin. Konsentrasi tinggi
2,3-DPG, H+ atau CO2, dan adanya hemoglobin tertentu, misalnya hemoglobin
sabit (Hb S) menggeser kurve ke kanan sedangkan hemoglobin janin (Hb F) – yang
tidak dapat mengikat 2,3-DPG – dan hemoglobin abnormal tertentu yang langka
yang berhubungan dengan polisitemia menggeser kurve ke kiri karena hemoglobin
ini kurang mudah melepas O2 daripada normal. Jadi oksigen binding/dissosiasi
dipengaruhi oleh pO2, pCO2, pH, suhu tubuh dan konsentrasi 2,3-DPG.
Gambar 8 : Diagram yang memperlihatkan pengaruh dari 2,3-DPG
pada Interaksi Hemoglobin -Oksigen
Peran 2,3-bisphosphoglycerate (2,3-BPG)
Komponen dari 2,3-bisphosphoglycerate (2,3-BPG), dihasilkan dari
intermediate glikolisis 1,3-bisphosphoglycerate, adalah suatu efektor allosterik yang
kuat pada proterti binding oksigen hemoglobin. Jalur sintesis 2,3-BPG pada diagram
di bawah ini
Jalur sintesis 2,3-bisphosphoglycerate (2,3-BPG) dalam eritrosit. Sintesis
dari 2,3-BPG menggambarkan jalur reaksi dari konsumsi glukosa dalam eritrosit.
Sintesis dari 2,3-BPG dalam eritrosit adalah penting untuk mengontrol afinitas
hemoglobin terhadap oksigen. Catatan bahwa ketika glukosa dioksidasi pada jalur
ini, eritrosit kehilangan kemampuan untuk mengikat 2 mol ATP dari oksidasi
glikolisis 1,3-BPG menjadi 3-phosphoglycerate melalui reaksi phosphoglycerate
kinase.
Gambar 9 : Curva Disosiasi Oksigen-hemoglobin
2.1.6. Penguraian Hem
Hem diruaikan menjadi bilirubin, yang kemudian dikonjugasikan dengan
glukuronat dan diekskresikan dalam empedu (Gbr. 10 ). Walaupun hem dari
sitokrom dan mioglobin juga mengalami pengubahan menjadi bilirubin, sumber
utama pigmen empedu ini adalah hemoglobin. Setelah mencapai akhir masa
hidupnya (sekitar 120 hari), sel darah merah difagositosis oleh sel system
retikuloendotel. Globin mengalami pemutusan menjadi konstrituen asam aminonya,
dan besi dikembalikan ke simpanan besi tubuh. Hem mengalami oksidasi dan
pemutusan menjadi karbon monoksida dan biliverdin. Biliverdin direduksi menjadi
bilirubin, yang kemudian diangkut ke hati berkompleks dengan albumin serum.
Di hati, bilirubin diubah menjadi senyawa yang lebih larut dalam air dengan
mereaksikannya dengan UDP-glukuronat untuk membentuk biirlubin
monoglukuronida, yang diubah menjadi diglukuronida. Bilirubin bentuk
terkonjugasi ini diekskresikan ke dalam empedu.
Di usus, bakteri melakukan dekonjugasi bilirubin diglukuronida dan
mengubah bilirubin menjadi urobilinogen (Gbr. 10 ). Sebagian urobilinogen
diserap ke dalam darah dan diekskresikan melalui urin. Namun, sebagian besar
urobilinogen dioksidasi menjadi golongan urobilin, misalnya sterkobilin, dan
diekskresikan dalam feses. Pigmen-pigmen ini menyebabkan feses berwarna coklat.
Gambar 10 : Metabolisme Hemoglobin
2.2. Eritrosit (Sel Darah Merah)
Agar berhasil mengangkut hemoglobin untuk mengenai jaringan dan untuk
perukaran gas yang baik, sel darah merah yang berdiameter 8 m, harus sanggup
melewati secara berulang-ulang mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 m,
untuk menjaga hemoglobin dalam keadaan tereduksi dan untuk mempertahankan
keseimbangan osmotic walaupun terdapat konsentrasi protein (hemoglobin) tingi di
dalam sel. Perjalanan totalnya sepanjang 120 hari kehidupan telah diperkirakan 300
mil. Untuk memenuhi fungsi ini, sel bersifat lentur, bikonkaf dengan kemampuan
membentuk energi sebagai ATP dengan jalan anaerobic, glikolitik (Embden-
Meyerhof) dan menghasilkan pereduksi sebagai NADH dengan jalan ini dan sebagai
NADPH dengan “shunt” heksosa monofosfat.
Gambar 11 : bentuk eritrosit yang melewati
kapiler. Energi ATP diperlukan untuk
kontraksi membran sel agar dapat merubah
bentuk eritrosit memasuki pembuluh darah
yang sangat kecil.
2.2.1. Metabolisme Sel Darah Merah
a. JALAN EMBDEN-MEYERHOF
Eritrosit tidak mempunyai
mitokondria atau organel lainnya dan juga
metabolisme di dalam sitoplasmanya
sangat berkurang. Yang diperlukan untuk fungsinya tentu saja adalah penambahan
glukosa yang dipecahkan melalui glikolisis menjadi laktat. Untuk setiap molekul
glukosa yang digunakan, dihasilkan dua molekul ATP dan dengan demikian dua
ikatan fostat berenergi tinggi. ATP ini menyediakan energi untuk pemeliharaan
volume, bentuk dan kelenturan (flexibility) sel darah merah. ATP juga berfungsi
menyediakan energi bagi Na+/K+ -ATPase, yang menjaga lingkungan ion di dalam
eritrosit, dan ini memakai satu molekul ATP untuk menggerakkan tiga ion natrium
ke luar dan dua ion kalium ke dalam sel. BPG (2,3-Bifosfogliserat) juga berasal dari
pemecahan glukosa.
Jalan Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan oleh
enzim methhemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin yang tidak
berfungsi (hemoglobin teroksidasi) yang mengandung besi Ferri (Fe3+OH)-yang
diproduksi oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin setiap hari- untuk menjadi aktif
berfungsi sebagai bentuk hemoglobin tereduksi (mengandung besi ferro, Fe2+).
b. JALAN HEKSOSA MONOFOSFAT (PENTOSA FOSFAT)
Kira-kira 5% glikolisis terjadi dengan cara oksidatif ini di mana glukosa 6-
fosfat dikonversi menjadi 6-fosfoflukonat dan terus menjadi ribulosa 5-fosfat.
NADPH dihasilkan dan berikatan dengan glutation (GSH) yang menjaga keutuhan
gugus sulfidril (-SH) dalam sel termasuk yang di dalam hemoglobin dan membran
sel darah merah. NADPH yang digunakan oleh methemoglobin reduktase lainnya
memelihara besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang fungsional aktif.
Selain itu dengan adanya O2 selalu terbentuk peroksida yang sangat reaktif,
yang juga harus dimusnahkan. Hal ini terjadi secara enzimatik dengan bantuan
glutation (GSH). Tripeptida (-Glu-Cys-Gly) yang atipikal ini membawa satu gugus
tiol pada sistein. Pada reduksi methemoglobin dan peroksida, gugus tiol tersebut
akan dioksidasi menjadi disulfida yang sesuai (GSSG). Regenerasi GSH dikatalisis
oleh glutation reduktase yang pada proses ini memerlukan NADPH sebagai
koenzim. (Lihat Gambar 12 di bawah ini)
2.2.2. Membran Sel Darah Merah
Ini merupakan lapisan lipid bipolar yang mengandung protein structural dan
kontraktil dan banyak enzim serta antigen permukaan. Kira-kira 50% membran
adalah protein, 40% lemak dan sampai 10% karbohidrat. Lipid terdiri dari 60%
fosfolipid netral (terutama kolesterol) dan 10% glikolipid. Fosfolipid dan glikolipid
adalah structural dengan gugus polar pada permukaan eksterna dan interna dan
gugus nonpolar pada tengah membran. Karbohidrat terdapat hanya pada permukaan
eksterna sedangkan protein diduga baik sebagai bagian tepi (perifer) ataupun
integral, yang menembus bilamina lipid (lipid bilayer). Satu dari protein tersebut –
spektrin – diduga structural pada permukaan dalam, yang memperthankan bentuk
bikonkaf. Cacat protein ini dapat menerangkan abnormalitas bentuk membran sel
darah merah, misalnya sferositosis herediter dan elliptositosis, sedangkan perubahan
dalam komposisi lipid yang disebabkan abnormalitas congenital atau akuisita dalam
kolesterol atau fosfolipid plasma dapat berkaitan dengan abnormalitas membran
lain. Gambar 13 : Unit membran eritrosit dengan simpanan protein
2.2.3. Penghancuran Eritrosit
Ini terjadi setelah umur rata-rata 120 hari ketika sel dipindahkan ke
ekstravaskular oleh makrofag system retikuloendotelial (RE), teristimewa dalam
sumsum tulang tetapi juga dalam hati dan limpa. Mebabolisme sel darah merah
perlahan-lahan memburuk karena enzim tidak diganti, sampai sel menjadi tidak
mampu (non-viable), tetapi alasan yang tepat mengapa sel darah merah mati tidak
jelas. Sel darah merah pecah membebaskan besi untuk sirkulasi melalui transferin
plasma ke eritroblas sumsum, dan protoporfirin yang dipecah menjadi bilirubin.
Bilirubin beredar ke hati dimana ia dikonjugasikan dengan glukoronida yang
dieksresi ke dalam usus melalui empedu dan dikonversi menjadi sterkobilinogen dan
sterkobilin (diekskresi dalam feses). Sterkobilinogen dan sterkobilin sebagaian
diserap kembali (reabsorpsi) dan diekskresi dalam urin sebagai urobilinogen dan
urobilin. Fraksi kecil protoporfirin dikonversi menjadi karbon monoksida (CO) dan
diekskresi melalui paru-paru. Rantai globin dipecah menjadi asam amino yang
dipakai kembali (reutilisasi) untuk sintesis protein umum dalam tubuh. Hemolisis
intravaskular (pemecahan sel darah merah di dalam pembuluh darah) memainkan
peranan sedikit atau tidak sama sekali pada penghancuran sel darah merah.
2.2.4. Aktivitas Antioksidan pada Eritrosit
NADH, NADPH dan GSH diproduksi oleh metabolisme eritrosit. NADH
diproduksi pada jalur glikolisis, sedangkan NADPH diproduksi pada jalur Phentosa
Phosphat (PPP).
Glutation (GSH) adalah suatu tripeptida yang disintesis oleh eritrosit dari
asam amino glutamic acid, cystein dan glysin. Glutation dapat dengan mudah
dioksidasi oleh grup sulfhydryl. GSH dipelihara dalam keadaan tereduksi oleh
NADPH dan enzym glutation reduktase.
Reaksi Glutation :
O2 + H2O  H2O2
2GSH + H2O2  GSSG + 2H2O (Reaksi glutation peroksidasi)
GSSH + NADPH  GSH + NADP (Reduksi oleh glutation reduktase)
Aktivitas NADH Methhemoglobin Reductase :
Hb(Fe3+) + NADH  Hb(Fe2+) + NAD
Reaksi ini secara fisiologi sangat penting
Aktivitas NADPH Methemoglobin Reduktase :
Hb(Fe3+) + NADPH  Hb(Fe2+) + NADP
Reaksi ini menjadi lebih penting bila konsentrasi methemoglobin dalam tubuh
tinggi.
BAB III
SIMPULAN
Dari uraian-uraian pada bab sebelumnya dapat diambil simpulan sebagai
berikut :
1. Hemoglobin berfungsi untuk transpor O2 dan CO2 antara paru-paru dan
jaringan
2. Hem adalah porfirin yang paling banyak dihasilkan dalam tubuh yang akan
membentuk hemoglobin, mioglobin dan sitokrom
3. Hemoglobin berperan dalam memelihara fungsi transpor oksigen dari paruparu
ke jaringan-jaringan
4. Oksigen binding/disosiasi dipengaruhi oleh pO2, pCO2, pH, suhu tubuh dan
konsentrasi 2,3-DPG. Sintesis dari 2,3-BPG dalam eritrosit adalah penting
untuk mengontrol afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
5. Pada proses penguraian hem, hem akan diuraikan menjadi bilirubin yang
kemudian dikonjugasikan dengan glukoronat dan diekskresikan dalam
empedu
6. Struktur sel eritrosit bersifat lentur dan bikonkaf sehingga dapat berubahubah
ketika sel berjalan melewati kapiler yang sangat kecil.
7. Eritrosit tidak mempunyai mitokondria atau organel lainnya dan juga
metabolisme di dalam sitoplasmanya sangat berkurang, sehingga untuk
melaksanakan fungsinya diperlukan penambahan glukosa yang dipecahkan
melalui glikolisis menjadi laktat.
8. Metabolisme yang dominan pada eritrosit adalah glikolisis, PPP dan 2,3-
BPG. Glikolisis penting untuk menyediakan ATP untuk pompa oin
membran dan NADH untuk re-oksidasi methemoglobin. PPP menyediakan
NADPH untuk menjaga keadaan tereduksi dari glutation. Jika hal ini gagal,
maka pada RBC akan meningkat jumlah peroxide terutama hal ini akan
mengakibatkan lemahnya dinding sel dan akan menyebabkan hemolisis.
MAKALAH ILMIAH
METABOLISME ERITROSIT
DISUSUN OLEH :
MARIA KOMARIAH
NIP. 19991224199903 2 001
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2009
..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar